1. HERPES
Infeksi herpes virus hominis pada orang dewasa biasanya ringan. Walaupun
demikian, penyakit ini dapat menyebabkan kematian janin dan bayi. Pada bayi
dapat dijumpai gelembung-gelembung pada kulit di seluruh badan, atau pada
konjungtiva dan selaput lendir mulut. Kematian bayi dapat pula disebabkan
oleh ensefalitis herpes virus.
Virus tipe II dapat menyebabkan herpes genitalis dengan gelembung-gelembung berisi cairan di vulva, vagina, dan servik, yang disebabkan oleh herpes simplex virus (HSV) sehingga sering disebut herpes simplek. Herpes simplek ditularkan melaluin hubungan seksual
(fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran
UI,hal 110)
Penularan kepada anak dapat terjadi
melalui:
a. Hematigen melalui plasenta
b. Akibat
penjalaran ke atas dari vagina ke janin apabila ketuban pecah
c. Melalui kontak
langsung pada waktu bayi lahir
Diagnosis tidak
sulit yaitu apabila terdapat gelambung-gelambung di daerah alat kelamin,
ditemukannya benda-benda inklusi intranuklear yang khas di dalam sel-sel
epitel vulva, vagina atau servik setelah dipulas menurut papanicolau, memberi
kepastian dalam diagnosis.
Herpes genitalis merupakan infeksi virus yang
senantiasa bersifat kronik, recurrent, dan dapat dikatakan sulit diobati.
Sampai saat ini hanya satu cara pengobatan herpese yang cukup efektif, yaitu
antivirus yang disebut acyclovir. Obat-obat analgetik dipakai untuk
mengurangi rasa nyeri di daerah vulva. Acyclovir dalam kehamilan tidak
dianjurkan, kecuali bila infeksi yang terjadi merupakan keadaan yang
mengancam kematian ibu, seperti adanya ensefalitis, pneumonitis, dan atau
hepatitis, dimana acyclovir dapat diberikan secara IV. (www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Bila pada kehamilan timbul herpes simplek perlu mendapat perhatian yang
serius, karena melalui plasenta virus dapat masuk ke sirkulasi fetal serta
dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal
mempunyai angka mortalitas 60% , separuh yang hidup menderita cacat
neurologis atau kelainan pada mata. Bila transmisi terjadi pada kehamilan
trimester I cebderung terjadi abortus atau malformasi congenital berupa
mikroinsefali, sedangkan trimester II terjadi prematuritas. Pada bayi baru
lahir dari ibu yang manderita herpes simplek akan mengalami kelainan berupa
hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokonjungtivitis, erupsi kulit
berupa vesikel herpetiformis dan bahkan bisa lahir mati. (fahmi.syaiful,1997,Penyakit
Menular Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran UI,hal 113)
SC dianjurkan pada wanita yang pada saat kelahiran menunjukkan
gejala-gejala akut pada genetalia, untuk menghindari penularan akibat kontak
langsung. Karena bila dengan persalinan pervaginam 50% bayi akan mengalami
infeksi. Pada pasca persalinan, ibu yang menderita herpes aktif harus
diisolasi. Bayinya dapat diberikan untuk menyusui bila ibu telah cuci tangan
mengganti baju yang bersih.
Penatalaksanaan
1. Untuk ibu hamil
Ibu hamil yang menderita herpes simplek genitals primer dalam 6 minggu
terakhir masa kehamilannya dianjurkan untuk SC sebelum atau dalam 4 jam
pecahnya ketuban.
2. Untuk bayi lahir dari ibu dengan herpes
simplek
banyak runah sakit yang menganjurkan untuk mangisolasi bayi baru lahir
dari ibu yang mengalami herpes simplek. Bayi harus diawasi ketat selama 1
bulan pertama kehidupannya. Untuk bayi dengan ibu herpes simplek dan melalui
pervaginam harus diberikan profilaksis asiklovir intravena selama 5-7 hari
dengan dosis 3x10 mg/kgBB/hari.
(fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran
UI,hal 118,119)
|
2. VARICELLA (CACAR AIR/CHICKEN
POX)
Varicella merupakan penyakit anak-anak dan sangat jarang dijumpai dalam kehamilan dan nifas. Walaupun umumnya cacar air itu suatu penyakit ringan, namun pada wanita hamil kadang-kadang bisa menjadi berat dan dapat menyebabkan partus prematurus. Disangka bahwa telah terjadi penularan intra uterin apabila gelambung-gelambung timbul dalam 10 hari setelah kelahiran. Frekuensi cacar bawaan tidak lebih tinggi pada para bayi yang lahir dari ibu yang menderita cacar air dalam masa hamil.
Varicella merupakan penyakit anak-anak dan sangat jarang dijumpai dalam kehamilan dan nifas. Walaupun umumnya cacar air itu suatu penyakit ringan, namun pada wanita hamil kadang-kadang bisa menjadi berat dan dapat menyebabkan partus prematurus. Disangka bahwa telah terjadi penularan intra uterin apabila gelambung-gelambung timbul dalam 10 hari setelah kelahiran. Frekuensi cacar bawaan tidak lebih tinggi pada para bayi yang lahir dari ibu yang menderita cacar air dalam masa hamil.
a) Masa inkubasi
Waktu terekspos sampai kena penyakit dalam
tempo 2 sampai 3 pekan. hal ini bisa sitandai dengan badan yang terasa panas
dingin.
b) Gejala
Pada permulaannya,
penderita akan merasa sedikit demam,
pilek,
cepat merasa lelah, lesu, dan lemah. Gejala-gejala ini khas untuk infeksi
virus. Pada kasus yang lebih berat, bisa didapatkan nyeri sendi, sakit kepala
dan pusing. Beberapa hari kemudian timbullah kemerahan pada kulit yang berukuran kecil
yang pertama kali ditemukan di sekitar dada dan perut atau punggung lalu diikuti
timbul di anggota gerak dan wajah.
Kemerahan pada kulit ini
lalu berubah menjadi lenting berisi cairan dengan dinding tipis. Ruam kulit ini
mungkin terasa agak nyeri atau gatal sehingga dapat tergaruk tak sengaja. Jika
lenting ini dibiarkan maka akan segera mengering membentuk keropeng (krusta)
yang nantinya akan terlepas dan meninggalkan bercak di kulit yang lebih gelap
(hiperpigmentasi). Bercak ini lama-kelamaan akan pudar sehingga beberapa waktu
kemudian tidak akan meninggalkan bekas lagi.
Lain halnya jika lenting
cacar air tersebut dipecahkan. Krusta akan segera terbentuk lebih dalam
sehingga akan mengering lebih lama. kondisi ini memudahkan infeksi bakteri
terjadi pada bekas luka garukan tadi. setelah mengering bekas cacar air tadi
akan menghilangkan bekas yang dalam. Terlebih lagi jika penderita adalah dewasa
atau dewasa muda, bekas cacar air akan lebih sulit menghilang.
c) Waktu karantina
yang disarankan
Selama 5 hari setelah
ruam mulai muncul dan sampai semua lepuh telah berkeropeng. Selama masa karantina
sebaiknya penderita tetap mandi seperti biasa, karena kuman yang berada pada
kulit akan dapat menginfeksi kulit yang sedang terkena cacar air. Untuk
menghindari timbulnya bekas luka yang sulit hilang sebaiknya menghindari
pecahnya lenting cacar air. Ketika mengeringkan tubuh sesudah mandi sebaiknya
tidak menggosoknya dengan handuk terlalu keras. Untuk menghindari gatal,
sebaiknya diberikan bedak talk yang mengandung menthol sehingga mengurangi
gesekan yang terjadi pada kulit sehingga kulit tidak banyak teriritasi. Untuk
yang memiliki kulit sensitif dapat juga menggunakan bedak talk salycil yang
tidak mengandung mentol. Pastikan anda juga selalu mengkonsumsi makanan bergizi
untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit itu sendiri. Konsumsi buah-
buahan yang mengandung vitamin C seperti jambu biji dan tomat merah yang dapat
dibuat juice.
d) Pencegahan
Imunisasi tersedia bagi anak-anak yang
berusia lebih dari 12 bulan. Imunisasi ini dianjurkan bagi orang di atas usia
12 tahun yang tidak mempunyai kekebalan.Penyakit ini erat kaitannya dengan
kekebalan tubuh.
e) Pengobatan
Varicella ini sebenarnya dapat sembuh
dengan sendirinya. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya serangan
berulang saat individu tersebut mengalami panurunan daya tahan tubuh. Penyakit
varicella dapat diberi penggobatan “Asiklovir” berupa tablet 800 mg per hari
setiap 4 jam sekali (dosis orang dewasa, yaitu 12 tahun ke atas) selama 7-10
hari dan salep yang mengandung asiklovir 5% yang dioleskan tipis di permukaan
yang terinfeksi 6 kali sehari selama 6 hari. Larutan “PK” sebanyak 1% yang
dilarutkan dalam air mandi.
Setelah masa penyembuhan varicella, dapat
dilanjutkan dengan perawatan bekas luka yang ditimbulkan dengan banyak
mengkonsumsi air mineral untuk menetralisir ginjal setelah
mengkonsumsi obat. Konsumsi vitamin C plasebo ataupun yang langsung dari
buah-buahan segar seperti juice jambu biji,
juice tomat
dan anggur.
Vitamin E
untuk kelembaban kulit bisa didapat dari plasebo, minuman dari lidah buaya,
ataupun rumput laut.
Penggunaan lotion yang mengandung pelembab ekstra saat
luka sudah benar- benar sembuh diperlukan untuk menghindari iritasi lebih
lanjut.
Periode inkubasi 10 – 21 hari.Infeksi yang
terjadi pada orang dewasa biasanya sangat berat dan dapat menimbulkan
komplikasi berbahaya seperti ensepalitis dan pneumonia.Oleh karena termasuk virus
herpes maka virus varicella juga memperlihatkan potensi latensi dalam ganglion
syaraf. Reaktiviasi virus memberikan gejala herpes zoster
f) Diagnosis
Diagnosa ditegakkan atas dasar gambaran
klinik meskipun usaha diagnosa juga dapat ditegakkan dengan melakukan biakan
virus dari vesikel dalam jangka waktu 4 hari setelah munculnya ruam-ruam kulit
pada varicella didaerah punggung
Pada tes serologi IgM varicella zoster
muncul pada minggu ke 2 melalui pemeriksaan ELISA atau CFT. IgG juga meningkat
dalam waktu 2 minggu setelah pemeriksaan IgM.Pemeriksaan untuk menentukan
imunitas seorang wanita adalah dengan menggunakan FAMA – Fluorescent Antibody
Membrane Antigen
g) Dampak terhadap kehamilan
5 – 10% wanita dewasa rentan terhadap
infeksi virus varicella zoster. Infeksi varicella akut terjadi pada 1 : 7500
kehamilan
Komplikasi maternal yang mungkin terjadi :
1.
Persalinan preterm
2.
Ensepalitis
3.
Pneumonia
Penatalaksanaan :
Terapi simptomatik namun harus dilakukan
pemeriksaan sinar x torak untuk menyingkirkan kemungkinan pneumonia mengingat
bahwa komplikasi pneumonia terjadi pada 16% kasus dan mortalitas sampai diatas
40%.Bila terjadi pneumonia maka perawatan harus dilakukan di rumah sakit dan
diterapi dengan antiviral oleh karena perubahan dekompensasi akan sangat cepat
terjadi.
Resiko terjadinya sindroma fetal adalah 2%
bila ibu menderita penyakit pada kehamilan antara 13 – 30 minggu ; dan 0.3%
bila infeksi terjadi pada kehamilan kurang dari 13 minggu.Bila infeksi pada ibu
terlihat dalam jangka waktu 3 minggu pasca persalinan maka resiko infeksi janin
pasca persalinan adalah 24%. Bila infeksi pada ibu terjadi dalam jangka waktu 5
– 21 hari sebelum persalinan dan janin mengalami infeksi maka hal ini umumnya
ringan dan “self limiting”. Bila infeksi terjadi dalam jangka waktu 4 hari
sebelum persalinan atau 2 hari pasca persalinan, maka neonatus akan berada pada
resiko tinggi menderita infeksi hebat dengan mortalitas 30%.Imunoglobulin
varicella zoster (VZIG) harus diberikan pada neonatus dalam jangka waktu 72 jam
pasca persalinan dan di isolasi. Plasenta dan selaput ketuban adalah bahan yang
sangat infeksius. Pada ibu hamil yang terpapar dan tidak jelas apakah sudah
pernah terinfeksi dengan virus varicella zoster harus segera dilakukan
pemeriksaan IgG. Bila hasil pemeriksaan tidak dapat segera diperoleh atau IgG
negatif, maka diberikan VZIG dalam jangka waktu 6 minggu pasca paparan.
Imunisasi varciella tidak boleh dilakuykan pada kehamilan oleh karena vaksin
terdiri dari virus yang dilemahkan. (reproduksiumj.blogspot.com/.../varicella-zoster-dalam-kehamilan.html)
4. TOXOPLASMOSIS
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
toxoplasma gondii.
Ibu dengan toxoplasma gondii biasanya tidak menampakan gejala walaupun 10%-20% ibu yang terinfeksi didapatkan adanya iymphadenopathy. Infeksi dapat ditemukan pada sindrom mononucleosislike dengan adanya kelelahan dan lesu, jarang terjadi pada encephalitis.
BBL dengan menderita toxoplasma congenital terinfeksi saat berada di dalam uterus secara transplacental. Choriuretinitis merupakan manifestasi klinis yang serinng muncul apada BBL sebagai gejala toxoplasma. Berikut adalah temuan-temuan yang didapatkan pada bayi dengan infeksi toxoplasma congenital: chorioretinitis, hydrocephalus, penyakit kuning, hepatosplenomegali, mikrosefali, glaucoma, kejang, demam, hipotermi, limpadenopati, mual, diare, katarak, mikroftalmia, syaraf mata atrofi, pneumonia.
Ibu dengan toxoplasma gondii biasanya tidak menampakan gejala walaupun 10%-20% ibu yang terinfeksi didapatkan adanya iymphadenopathy. Infeksi dapat ditemukan pada sindrom mononucleosislike dengan adanya kelelahan dan lesu, jarang terjadi pada encephalitis.
BBL dengan menderita toxoplasma congenital terinfeksi saat berada di dalam uterus secara transplacental. Choriuretinitis merupakan manifestasi klinis yang serinng muncul apada BBL sebagai gejala toxoplasma. Berikut adalah temuan-temuan yang didapatkan pada bayi dengan infeksi toxoplasma congenital: chorioretinitis, hydrocephalus, penyakit kuning, hepatosplenomegali, mikrosefali, glaucoma, kejang, demam, hipotermi, limpadenopati, mual, diare, katarak, mikroftalmia, syaraf mata atrofi, pneumonia.
(www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Penularannya tergantung pada 3 hal yaitu : lingkungan yang memungkinkan perkembangan agen penyakit, adanya induk semang dan agen penyakit itu sendiri.
Penularannya tergantung pada 3 hal yaitu : lingkungan yang memungkinkan perkembangan agen penyakit, adanya induk semang dan agen penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis dapat ditularkan oleh induk semang. Melalui beberapa cara:
1. Tertelannya ookista
infektif yang berasal dari kucing
2. Tertelannya kista
jaringan atau kelompok takizoit yang terdapat di dalam daging mentah atau yang
dimasak tidak sempurna.
3. Tertelannya induk
semang yang telah menelan ookista
4. Melalui plasenta
5. Kecelakaan di laboratorium karena kontaminasi
melalui luka, peroral, maupun konjungtiva.
6. Penyuntikan merozoit
secara tidak sengaja
7. Transfuse leukosit
penderita toksoplasmosis.(sasmita.rochiman,2006,Toxoplasmosis,Surabaya:universitas
airlangga,hal 23 )
Agen penyakit toksoplasmosis meliputi :
1) Kucing
Organisme tempat toxoplasma gondii hidup adalah kucing. Sekitar ½ dari beberapa kucing yang diuji mempunyai antibody toxoplasma. Ini berarti bahwa kucing tersebut terinfeksi karena memakan hewan pengerat dan burung pemakan daging yang terinfeksi. Satu minggu setelah terinfeksi, kucing mengeluarkan ookista yang terdapat pada fesesnya. Pengeluaran ookista terus menerus sampai sekitar 2 minggu sebelum kucing itu sembuh atau pulih kembali. Hewan ini mudah terinfeksi lagi dan dapat mengeluarkan ookista ketika terinfeksi oleh organisme lain.
Feses kucing sudah sangat infeksius. Ookist dalam feses menyebar melalui udara dan ketika dihirup akan dapat menyebabkan infeksi. Sporulasi organisme ini terjadi setelah 1-5 hari dalam kotoran dan dapat dicegah dengan pembuangan sampah setiap hari.
Organisme tempat toxoplasma gondii hidup adalah kucing. Sekitar ½ dari beberapa kucing yang diuji mempunyai antibody toxoplasma. Ini berarti bahwa kucing tersebut terinfeksi karena memakan hewan pengerat dan burung pemakan daging yang terinfeksi. Satu minggu setelah terinfeksi, kucing mengeluarkan ookista yang terdapat pada fesesnya. Pengeluaran ookista terus menerus sampai sekitar 2 minggu sebelum kucing itu sembuh atau pulih kembali. Hewan ini mudah terinfeksi lagi dan dapat mengeluarkan ookista ketika terinfeksi oleh organisme lain.
Feses kucing sudah sangat infeksius. Ookist dalam feses menyebar melalui udara dan ketika dihirup akan dapat menyebabkan infeksi. Sporulasi organisme ini terjadi setelah 1-5 hari dalam kotoran dan dapat dicegah dengan pembuangan sampah setiap hari.
2) Daging
Wabah “christiaan barand” adalah contoh penularan toxoplasma melalui
daging. Konsumsi daging yang terinfeksi adalah penyebab utama toxoplasma di
Eropa, dimana dibatasinya penggunaan lemari pendingin dan biasanya daging tidak
dibekukan. Seharusnya daging dimasak pada suhu yang tinggi untuk mecegah
terjadinya penularan toxoplasm.
Diagnosis
1) Ibu
Diagnosa klinis toxoplasma akut tidak dapat dipercaya apabila tidak ditemukan tanda yang spesifik berkaitan dengan infeksi. Namun demikian toxoplasma akut harus dipertimbangkan pada setiap wanita hamil dengan limfa denopati, utamanya meliputi rahim posterior, dan atau gejala mononucleosisslike.
Diagnosa utama infeksi toxoplasma selama kehamilan adalah meliputi salah satu dari hal berikut:
Diagnosa klinis toxoplasma akut tidak dapat dipercaya apabila tidak ditemukan tanda yang spesifik berkaitan dengan infeksi. Namun demikian toxoplasma akut harus dipertimbangkan pada setiap wanita hamil dengan limfa denopati, utamanya meliputi rahim posterior, dan atau gejala mononucleosisslike.
Diagnosa utama infeksi toxoplasma selama kehamilan adalah meliputi salah satu dari hal berikut:
· Menunjukan hasil yang positif pada uji yang dilakukan
· Terjadi peningkatan antibody yang diperoleh dari serum ibu pada dua kali
pemeriksaan yang berbeda, atau
· Terdeteksi antibody IgM toxoplasma
Pada usia remaja dengan infeksi primer jarang terjadi perkembangan antibody IgG dan IgM. Antibody IgG spesifik toxoplasma berkembang dalam waktu 2 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selamanya. Perkembangan antibody IgM spesifi toxsoplasm terjadi dalam 10 hari setelah terinfeksi dan meningkat 6 bulan sampai > 7 tahun.
The enzyme linked immunosorbent assay (Uji Elisa) asay test untuk melihat tingginya perkembangan antibody IgM dapat bertahan sampai beberapa tahun. UJI IVA (Indairec immaunofluorescence Antibody Test untuk IgM toxoplasma spesifik biasanya menunjukan kadar yang tinggi pada 6 bulan setelah terinfeksi, berikutnya titer akan menurun. Uji IVA lebih bermanfaat dari uji Elisa dalam membedakan infeksi adanya primer pada wanita hamil.
Pada usia remaja dengan infeksi primer jarang terjadi perkembangan antibody IgG dan IgM. Antibody IgG spesifik toxoplasma berkembang dalam waktu 2 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selamanya. Perkembangan antibody IgM spesifi toxsoplasm terjadi dalam 10 hari setelah terinfeksi dan meningkat 6 bulan sampai > 7 tahun.
The enzyme linked immunosorbent assay (Uji Elisa) asay test untuk melihat tingginya perkembangan antibody IgM dapat bertahan sampai beberapa tahun. UJI IVA (Indairec immaunofluorescence Antibody Test untuk IgM toxoplasma spesifik biasanya menunjukan kadar yang tinggi pada 6 bulan setelah terinfeksi, berikutnya titer akan menurun. Uji IVA lebih bermanfaat dari uji Elisa dalam membedakan infeksi adanya primer pada wanita hamil.
2) Anak
Gejala klinis pada bayi baru lahir akan dapat ditemukan seperti pada temuan diatas. Gejala klinik yang paling banyak ditemukan adalah chorioretinitis, penyakit kuning, demam, dan hepatosplenomegali. Adanya IgM toxoplasma spesifik pada bayi baru lahir memperjelas diagnosa infeksi congenital. Adanya kista toxoplasma gondii pada pemerikaan histology plasenta juga mendukung kuat diagnosa infeksi pada bayi.
Gejala klinis pada bayi baru lahir akan dapat ditemukan seperti pada temuan diatas. Gejala klinik yang paling banyak ditemukan adalah chorioretinitis, penyakit kuning, demam, dan hepatosplenomegali. Adanya IgM toxoplasma spesifik pada bayi baru lahir memperjelas diagnosa infeksi congenital. Adanya kista toxoplasma gondii pada pemerikaan histology plasenta juga mendukung kuat diagnosa infeksi pada bayi.
3) Diagnosa prenatal
Mendiagnosa toxoplasma pada kehamilan dipercaya dengan cairan amnion atau darah janin yang dapat didiagnosa dengan amniosentesis atau cordosentesis.
IgM spesifik toxoplasma jika didapatkan pada darah janin dari cordosentesis dapat pula digunakan untuk mendiagnosa infeksi janin namun sayangnya antibody IgM janin sedikit berekembang sampai umur kehamilan 21 sampai 24 minggu.
Mendiagnosa toxoplasma pada kehamilan dipercaya dengan cairan amnion atau darah janin yang dapat didiagnosa dengan amniosentesis atau cordosentesis.
IgM spesifik toxoplasma jika didapatkan pada darah janin dari cordosentesis dapat pula digunakan untuk mendiagnosa infeksi janin namun sayangnya antibody IgM janin sedikit berekembang sampai umur kehamilan 21 sampai 24 minggu.
(
www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
pencegahan
Dengan pemberian imunisasi toksoplasmosis pada manusia maupun hewan
merupakan metode yang diterapkan untuk mencegah penyebaran toksoplasmosis.
Imunisasi diberikan untuk membentuk kekebalan terhadap bakteri toxoplasma
gondii. Imunisasi ini
diberikan pada anak-anak dan pada calon pengantin dan ibu hamil. Kekebalan ini
tidak dapat menghilangkan infeksi permulaan secara tuntas, hal ini terbukti
dari hasil uji jaringan hewan maupun manusia masih adanya parasit untuk waktu
yang lama bahkan selama hidupnya.
(sasmita.rochiman,2006,Toxoplasmosis,Surabaya:universitas
airlangga,hal 75 )
Penatalaksanaan
1) Ibu
Prognosa pada infeksi yang akut baik, kecuali pada keadaan imonosekresi
yang amat besar. Wanta hamil dengan infeksi akut dapat dirawat dengan kombinasi
pyrimethamine, asam folimik dan sulfonamide. Dosis standar pyrimethamine adalah
25 mg/hari/oral dan 1 gr sulfadiazine peroral 4 X/hari selam 1 tahun.
Pyrimethamine adalah musuh dari asam folik dan oleh karena itu
mungkinmemberikan efek teratogenik jika diberikan pada trimester I. Asam
folimik diberikan dengan dosis 6 mg secara IM atau per oral setiap pada hari
yang berbeda untuk mengetahui apakah benar habisnya asam folat disebsbkan oleh
Pyrimethamine.
Spiramycin adalah ejen lainyang digunakan pada pengobatan toxoplasma akut
dan dapat diperoleh pada pusat pengontrolan penyakit di USA.
2. Janin
Adanya gejala infeksi pada bayi lahir harus ditangani dengan pemberian
pyrimethamine dengan dosis 1 mg/kg/hr/oral selam 34 hari, dilanjutkan dosis 0,5
mg/kg/hr selam 21-30 hari dan sulfadiazine dengan dosis 20 mg/kg per oral selam
1 tahun. Pada saat menginjak remaja diberikan asam folimik 2-6 mg secara IM
atau oral 3 X seminggu walaupun pada saat bayi dia mendapatkan pyrimethamine.
Infeksi congenital pada bayi baru lahir bukan merupakan infeksius, oleh karena
itu tidak perlu diisolasi. Bayi baru lahir yang tidak menunjukan infeksi dan
positif antibody IgG toxoplasma spesifiknya mungkin didapatkan dari ibunya
secara transplasetal. Pada bayi yang Tidak ditemukannya temuan yang lain yang
mencurigakan terjadinya infeksi congenital., harus dipantau, apabila tidak
terinfeksi harus menunjukan adanya penurunan titer antibody IgG terhadap
toxoplasma.
5. INFEKSI TRAKTUS URINARIUS
Infeksi saluran kencing adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih. Infeksi ini merupakan
infeksi bakteri yang paling sering dijumpai pada wanita karena pendeknya uretra
pada wanita sehingga memudahkan masuknya bakteri ke dalam kandung kemih.
Pada wanita hamil memiliki peluang lebih tinggi lagi untuk terserang
infeksi saluran kencing tersebut. telah terjadi perubahan-perubahan baik secara
anatomik maupun fisiologik maka sistem saluran kemih pada ibu hamil rawan
terjadi infeksi. Pada wanita hamil terjadi penurunan tonus dan aktifitas
otot-otot ureter yang berakibat terjadinya penurunan kecepatan pengeluaran urin
melalui system pengumpul urin. Ureter bagian atas dan pelvis renal mengalami
dilatasi dan menyebabkan terjadinya hidronefrosis fisiologis pada kehamilan.
Hidronefrosis ani adalah akibat pengaruh progesterone terhadap tonus otot dan
peristaltic, dan yang paling penting adalah akibat obstuksi mekanik oleh uterus
yang membesar. Juga didapatkan perubahan pada kandung kemih termasuk penurunan
tonus, peningkatan kapasitas, dan pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna. Selain itu terjadi
peningkatan pH urin selama kehamilan memudahkan pertumbuhan bakteri. Ini semua
merupakan predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih pada ibu hamil. (
widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal 95)
Walaupun bakteri uria asimtomatik merupakan hal biasa,
infeksi simtomatik dapat mengenai saluran bawah yang menyebabkan sisititis,
atau menyerang kaliks, pelvis, dan parenkim ginjal sehingga mengakibatkan
pielonefritis. komplikasi yang sering timbul pada ibu hamil akibat infeksi
saluran kemih adalah pielonefritis, hipertensi, kematian janin dalam kandungan
dan anemia. (www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Kuman penyebab utama infeksi saluran kemih adalah golongan basil gram
negative aerobik yang dalam keadaan normal bertempat tinggal di dalam traktus
digestifus ( saluran pencernaan). Pada umumnya penyebab infeksi ini adalah 90%
adalah E. Coli, Klebsiella-Enterobacter
5% dan Proteus mirabilis, enterococcus,
Staphylococcus.
Ada 3 cara terjadinya infeksi yaitu:
1. Penyebaran melalui aliran darah
yangberasal dari usus halus atau organ lain ke dalam saluran kemih
2. Penyebarn melalui saluran getah bening
yang berasal dari usus besar ke buli-buli atau ginjal
3. Secara asenden yaitu terjadinya migrasi
mikroorganisme melalui uretra, buli-buli, ureter dan ginjal.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal
93,94)
Tingkatan perjalanan infeksi saluran
kemih:
a. Bakteriuria
Asimtomatik
kondisi ini mengacu pada perkembangan bakteri yang terus-menerus secara
aktif di dalam saluran kemih tanpa menimbulkan gejala. Insiden selama kehamilan bergantung pada paritas, ras
dan status social ekonomi.
Penatalaksanaan bakteriuri asimtomatik pada kehamilan
secara keseluruhan meliputi 3 tahap,yaitu:
1. Diagnose awal dan konfirmasi infeksi atau penapisan
Penapisan
dilakukan dengan kultur urin pada trimester pertama. Bakteri uria biasanya
sudah ada pada saat kunjungan pranatal I dan setelah biakan urin awal yang
negatif, wanita yang mengalami infeksi saluran kemih jumlahnya 1 % atau kurang.
2. Pemberian terapi
Terapi selama 10 hari dengan makrokristal
nitrovurantoin 100 mg/hari terbukti untuk sebagian besar wanita. Regimen lain adalah amphicilin,
amoksisilin, chefalosporin, nitrofurantoin, atau sulfonamide 4 X sehari selam 3
hari.
3. Tindak lanjut / follow up
Setelah pengobatan selesai diberikan maka
kultur ulang harus dilakukan lagi untuk melihat apakah eradikasi bakteri
berhasil. Bila pasien menunjukkan tanda-tanda sepsis, muntah dan kemungkinan
terjadi dehidrasi dan kontraksi uterus maka penderita harus dirawat di rumah
sakit.
b. Pielonefritis
Akut
Infeksi ginjal merupakan penyulit medis paling serius pada kehamilan,
terjadi pada sekitar 2 % wanita hamil. Adanya bakteriuri asimtomatik merupakan
faktor besar yang mempengaruhi terjadinya pielonefritis akut pada kehamilan.
Keseriusan pielonefritis akut selama kehamilan merupakan penyebab utama syok
septic selama kehamilan.
Infeksi ginjal lebih sering terjadi setelah pertengahan kehamilan, pada lebih dari separuh kasus penyakitnya unilateral dan di sisi kanan, sedangkan pada ¼ bilateral. Pada sebagian besar wanita, infeksi disebabkan oleh bakteri yang naik dari saluran kemih bawah.
Infeksi ginjal lebih sering terjadi setelah pertengahan kehamilan, pada lebih dari separuh kasus penyakitnya unilateral dan di sisi kanan, sedangkan pada ¼ bilateral. Pada sebagian besar wanita, infeksi disebabkan oleh bakteri yang naik dari saluran kemih bawah.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal
94)
Gambaran Klinis
Gejala meliputi demam, menggigil hebat, dan nyeri tumpul di salah satu atau
kedua regio lumbal. Pasien mungkin mengalami anoreksia, mual dan muntah.
Perjalanan penyakit dapat hipotermia sangat bervariasi dengan demam sampai
setinggi 40 C. rasa nyeri biasanya sampai 34 C dapat ditimbulkan dengan perkusi
disalah satu atau kedua sudut costovertebra. Sedimen urin sering mengandung
banyak leukosit, seringkali dalam gumpalan-gumpalan dan banyak bakteri.
Kreatinin plasma harus diukur pada awal terapi. Pielonefritis akut pada sebagian wanita hamil menyebabkan penurunan pada laju filtrasi glomerulus yang bersifat reversible. Wanita dengan pielonefritis ante partum mengalami insufisiensi pernafasan dengan derajat bervariasi akibat cidera alveolus dan edema paru yang dipicu oleh endotoksin. Pada sebagian wanita cidera parunya parah sehingga menimbulkan syndrome gawat nafas akut.
Graham dkk (1983) memastikan bahwa pemberian terapi antimikroba pada wanita ini diikuti oleh peningkatan aktifitas uterus. Hal ini mungkin disebabkan oleh pelepasan endotoksin. Hemolisis akibat endotoksin juga sering terjadi, dan sekitar 1/3 dari wanita ini mengalami anemia akut.
Kreatinin plasma harus diukur pada awal terapi. Pielonefritis akut pada sebagian wanita hamil menyebabkan penurunan pada laju filtrasi glomerulus yang bersifat reversible. Wanita dengan pielonefritis ante partum mengalami insufisiensi pernafasan dengan derajat bervariasi akibat cidera alveolus dan edema paru yang dipicu oleh endotoksin. Pada sebagian wanita cidera parunya parah sehingga menimbulkan syndrome gawat nafas akut.
Graham dkk (1983) memastikan bahwa pemberian terapi antimikroba pada wanita ini diikuti oleh peningkatan aktifitas uterus. Hal ini mungkin disebabkan oleh pelepasan endotoksin. Hemolisis akibat endotoksin juga sering terjadi, dan sekitar 1/3 dari wanita ini mengalami anemia akut.
Penatalaksanaan
Hidrasi intra vena agar produksi urin memadai merupakan hal yang esensial. Keluaran urin, tekanan darah dan suhu dipantau secara ketat. Demam tinggi harus diatasi, biasanya dengan selimut pendingin.
Infeksi saluran kemih yang serius ini biasanya cepat berespon terhadap hidrasi intravenal dan terapi antimikroba. Pemberian antibiotic adalah golongan penisilin dengan sprektum luas (piperasilin, mezlosilin, tikarsilin/asam klavilanik) atau sefalosforin sprektum luas ( sefotaksim, sefrisoksim, seftriakson) atau aztreonam atau aminoglikosida.
Hidrasi intra vena agar produksi urin memadai merupakan hal yang esensial. Keluaran urin, tekanan darah dan suhu dipantau secara ketat. Demam tinggi harus diatasi, biasanya dengan selimut pendingin.
Infeksi saluran kemih yang serius ini biasanya cepat berespon terhadap hidrasi intravenal dan terapi antimikroba. Pemberian antibiotic adalah golongan penisilin dengan sprektum luas (piperasilin, mezlosilin, tikarsilin/asam klavilanik) atau sefalosforin sprektum luas ( sefotaksim, sefrisoksim, seftriakson) atau aztreonam atau aminoglikosida.
Gejala klinis umumnya reda dalam 2 hari setelah terapi, tetapi walaupun
gejala cepat menghilang dianjurkan agar terapi dilanjutkan hingga 7-10 hari.
Apabila biakan urin selanjutnya memberikan hasil positif diberikan
nitrofurantoin 100 mg sebelum tidur selama sisa kehamilan.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal
101)
Penatalaksanaan Rawat Jalan
tidak ada perbedaan bermakna dalam respon klinis atau hasil kehamilan antara pasien rawat inap dan rawat jalan. Semua wanita dalam uji ini mendapat dua dosis ceftriakson IM 1 gr di RS dengan selang 24 jam sebelum mereka yang dimasukan kekelompok rawat jalan diperbolehkan pulang. Dalam hal ini diperlukan evaluasi ketat sebelum dan setelah pemulangan dari RS.
Penatalaksanaan Rawat Jalan
tidak ada perbedaan bermakna dalam respon klinis atau hasil kehamilan antara pasien rawat inap dan rawat jalan. Semua wanita dalam uji ini mendapat dua dosis ceftriakson IM 1 gr di RS dengan selang 24 jam sebelum mereka yang dimasukan kekelompok rawat jalan diperbolehkan pulang. Dalam hal ini diperlukan evaluasi ketat sebelum dan setelah pemulangan dari RS.
Penatalaksaan Bagi Mereka Yang Tidak Berespon
Apabila perbaikan klinis belum tampak jelas dalam 48-72 jam, wanita tersebut perlu pemeriksaan obstruksi saluran kemih, untuk mecari ada tidaknya dipensi abnormal pada ureter atau pielokaliks.
Pemasangan doble-J steent diureter akan mengatasi obstruksi pada sebagian besar kasus. Apabila gagal dilakukan nefrostomi perkutanium. Apabila gagal juga perlu dilakukan pengeluaran batu ginjal secara bedah agar infeksi reda.
Apabila perbaikan klinis belum tampak jelas dalam 48-72 jam, wanita tersebut perlu pemeriksaan obstruksi saluran kemih, untuk mecari ada tidaknya dipensi abnormal pada ureter atau pielokaliks.
Pemasangan doble-J steent diureter akan mengatasi obstruksi pada sebagian besar kasus. Apabila gagal dilakukan nefrostomi perkutanium. Apabila gagal juga perlu dilakukan pengeluaran batu ginjal secara bedah agar infeksi reda.
Tindak Lanjut
Bila tidak dilakukan tindakan-tindakan untuk menjamin sterilitas urin, pasien sebaiknya diberi nitrovurantoin 100 mg sebelum tidur sampai selesai hamil.
Bila tidak dilakukan tindakan-tindakan untuk menjamin sterilitas urin, pasien sebaiknya diberi nitrovurantoin 100 mg sebelum tidur sampai selesai hamil.
c. Pielonefritis
Kronik
penyakit ini adalah suatu nefritis interstisial kronik yang diperkirakan
disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada banyak kasus, terjadi pembentukan
jaringan parut klasik yang terdeteksi secara radiologis dan disertai refluks
ureter selagi berkemih oleh karenanya penyakit ini juga disebut sebagai nefropatirefluks.
Pada kasus lanjut, yang muncul adalah gejala insufisiensi ginjal. Patogenesis
penyakit ini masih belum jelas tetapi tampaknya bukan hanya disebabkan oleh
infeksi bakteri persisten.
Prognosis pada ibu dan janin bergantung pada luas kerusakan ginjal. Gangguan fungsi ginjal dan pembentkan jaringan parut ginjal bilateral berkaitan dengan peningkatan penyulit pada ibu, apabila pielonefritit kronik lainnya mengalami penyulit bakteri uria selama kehamilan, dapat terjadi pielonefritit akut yang akan memperparah keadaan. Hampir seluruh wanita dengan pembentukan jaringan parut ginjal akibat infeksi saluran kemih pada masa kanak-kanak akan mengalami bakteri uria saat hamil (Martinel dkk , 1990).(www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Prognosis pada ibu dan janin bergantung pada luas kerusakan ginjal. Gangguan fungsi ginjal dan pembentkan jaringan parut ginjal bilateral berkaitan dengan peningkatan penyulit pada ibu, apabila pielonefritit kronik lainnya mengalami penyulit bakteri uria selama kehamilan, dapat terjadi pielonefritit akut yang akan memperparah keadaan. Hampir seluruh wanita dengan pembentukan jaringan parut ginjal akibat infeksi saluran kemih pada masa kanak-kanak akan mengalami bakteri uria saat hamil (Martinel dkk , 1990).(www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Akibat
infeksi saluran kemih pada kehamilan
Pielonefritis akut merupakan penyulit tersering pada kehamilan dapat
menimbulkan ancaman yang serius terhadap kesejahteraan ibu maupun janin.
Infeksi saluran kemih baik dalam tingkat pielonefritis akut maupun masih
bakteriuria asimtomatik pada kehamilan dapat meningkatkan risiko persalinan
preterm, terjadinya abortus dan lahir mati.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal
95)
4. HEPATITIS
Hepatitis infeksiosa disebabkan oleh virus dan merupakan penyakit hati yang
paling sering dijumpai dalam kehamilan. Pada wanita hamil, pemyebab hepatitis
infeksiosa terutama oleh virus hepatitis B. walaupun kemingkinan juga dapat karena virus hepatitis
A atau Hepatitis C. hepatitis virus dapat terjadi pula setiap satt kehamilan
dan mempunyai pengaruh buruk pada janin maupun ibunya. Pada trimester I dapat
terjadi keguguran, akan tetapi jarang dijumpai kelainan congenital (anomaly
pada janin). Sedangkan pada trimester II dan III sering terjadi premature.
Tidak dianjurkan untuk melakukan terminasi kehamilan dengna induksi atau SC,
karena akan mempertinggi risiko pada ibu. Pada hepatitis B janin kemungkinan
dapat tertular melalui plasenta, waktu lahir, atau masa neonates, walaupun
masih masih kontroversi penularan melalui air susu.
Masa inkubasi hepatitis B bervariasi dari 1-6 bulan.
Hepatitis B sering tidak menunjukkan gejala ikhterik atau asimtomatik, walaupun
dalam keadaan sangat parah dapat timbul penyakit kuning serta kegagalan hepar
yang akut. P.infeksi.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas
kedokteran UI, hal 148)
Penatalaksanaan
1. Istirahat,
diberi nutrisi dan cairan yang cukup, bila perlu IV
2. Isolasi
cairan lambung dalam atau cairan badan lainnya dan ingatkan tentang pentingnya
janin dipisahkan dengan ibunya
3. Periksa HbsAg
4. Kontrol kadar bilirubun, serum glutamic
oksaloasetik transaminase (SGOT), serum glutamic piruvic transaminase (SGPT),
factor pembekuan darah, karena kemungkinan telah ada disseminated intravaskular
coagulapathy (DIC)
5. Cegah penggunaan obat-obat yang
bersifat hepatotoksik
6. Pada ibu yang HbsAg positif perlu
diperiksa HbsAg anak karena kemungkinan terjadi penularan melalui darah tali
pusat
7. Tindakan operasi seperti SC akan
memperburuk prognosis ibu
8. Pada bayi yang baru
dilahirkan dalam 2x24 jam diberi suntikan anti hepatitis serum(www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
6. HIV/AIDS
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi
klinik wanita dengan infeksi HIV. Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan
pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda tanya. Transmisi vertical
virus AIDS dari ibu kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum
jelas diketahui kapan transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di AS
dab Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah
20-40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses
persalinan, atau melalui ASI. Walaupun demikian, WHO menganjurkan agar ibu
dengna HIV positif tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang cukup
besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV.
Bila telah terdiagnosis adanya AIDS perlu dilakukan pemeriksaan apakah ada
infeksi PHS lainnya, sepeerti gonorrhea, chlamydia, hepatitis, herpes, ataupun
infeksi toksoplasmik, CMV, TBC dan lain-lain.
Penderita AIDS mempunyai gejala awal yang tidak spesifik seperti fatique, anoreksia, BB menurun, atau mungkin menderita candidiasis orofaring maupun vagina. Kematian pada ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunisyik yang menyetainya, terutama pneumocystis carinii pneumonia.
Penderita AIDS mempunyai gejala awal yang tidak spesifik seperti fatique, anoreksia, BB menurun, atau mungkin menderita candidiasis orofaring maupun vagina. Kematian pada ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunisyik yang menyetainya, terutama pneumocystis carinii pneumonia.
Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan. Pemberian AZT
(Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta
beratnya infeksi oportunistik. Pengobatan infeksi HIV dan penyakit
oportunisyiknya dalam kehamilan merupakan masalah, karena banyak obat belum
diketahui dampak buruknya dalam kehamilan. Dengan demikian, pencegahan menjadi sangat
penting peranannya, yaitu hubungan seksual yang sehat, menggunakan alat
kontrasepsi, dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan.
Dalam persalinan, SC bukan merupakan indikasi untuk menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan. Penularan kepada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut:
1.Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan
2.Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
3.Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS
4.Gunakan pelindung mata (kacamata)
5.Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius
6.Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut
7.Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis
Dalam persalinan, SC bukan merupakan indikasi untuk menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan. Penularan kepada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut:
1.Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan
2.Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
3.Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS
4.Gunakan pelindung mata (kacamata)
5.Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius
6.Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut
7.Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis
Perawatan pascapersalinan perlu
diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui pembalut wanita, lochea, luka
episiotomi ataupun luka SC. Untuk perawatan bayi, sebaiknya dilakukan oleh
dokter anak yang khusus untuk menangani kasus ini. Perawatan ibu dan bayi tidak
perlu dipisah, harus diusahakan agar pada bayi tidak dilakukan tindakan yang
membuat perlukaan bila tidak perlu betul, misalnya jangan lakukan sirkumsisi.
Perawatan tali pusat harus dijalankan dengan cermat. Imunisasi yang menggunakan
virus hidup sebaiknya ditunda sampai terbukti bahwa bayi tersebut tidak menderita
virus HIV. Antibodi yang didapatkan pasif dari ibu akan dapat bertahan sampai
15 bulan. Jadi diperlukan pemeriksaan ulang berkala untuk menentukan adanya
perubahan ke arah negatif atau tidak. Infeksi pada bayi mungkin baru tampak
pada usia 12-18 bulan.
(alijeco.blogspot.com/2008/05/hiv-aids.html)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
penderita infeksi HIV dibagi menjadi 2:
1. Infeksi dini HIV
dengan mencegah timbulnya infeksi oportunistik serta memperpanjang hidup
penderita.
2. Tahap lanjut
dengan memberikan pengobatan untuk infeksi oportunistik dan keganasan serta
perawatan pada fase terminal.
(fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran
UI,hal 141)
7. TYPUS ABDOMINALIS
Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasnya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Salmonella typhi, basil gram negatif, bergerak dengan rambut, tidak berspra. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik), antigen H (flagela) dan antigen Vi.
Typus abdominalis dalam kehamilan, dan
nifas menunjukan angka kematian yang lebih tinggi dari pada di luar kehamilan.
Penyakit ini mempunyai pengaruh buruk terhadap kehamilan. Dalam 60-80 % hasil
konsepsi keluar secara spontan : lebih dini terjadinya infeksi dalam kehamilan,
lebih besar kemungkinan berakhirnya kehamilan.
Bakteri masuk melaluin saluran cerna, dibutuhkan jumlah seratus ribu sampai
satu milyar untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagaian besar bakteri mati oleh
asam lambung. Bakteri yang tetap hidup akan masuk kedalam ileum melalui
mikrovili dan mencapai plak payeri, selanjutnya masuk kedalam pembuluh darah
(bakteremia). Pada tahap selanjutnya, s.typoii menuju keorgan sistem
retikoendotial.
Gejala klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3-30) hari. Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan,
lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak semangat.
Pada kasus khas biasa ditemukan gejala klinis berupa
demam, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran
Komplikasi
Pada tifus abdominalis dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan usus,
perforasi usus, peritonitis, miningitis, kolesitis, ensefalopati,
bronkopneumonia, hepatis, dehidrasi, asidosis.
(alijeco.blogspot.com/2008/05/tifus-abdominalis.html)
Pengobatan
1. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta.
2. Perawatan yang baik untuk menghindarkan komplikasi mengikat sakit yang
lama, lemah dan anoreksia dll.
3. Istirahat
selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali, yaitu istirahat mutlak,
berbaring terus ditempat tidur. Seminggu kemudian
boleh duduk dan selanjutnya boleh berdiri dan berjalan.
4. Diet makanan harus cukup mengandung kalori, cairan dan
tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak
meragsang dan tidak banyak menimbulkan gas.
5. Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang
sesuai.
6. Obat terpilih adalah kloramferikol 100 mg/kg BB/hari
dai bagi dalam 4dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Bla
pasien tidak serasi/alergi dapat diberikan golongan obat lain misalnya
penisilin atau kortimoksazol.
Pengobatan dengan kloramfenikol atau
tiamfenikol (Urfamycin) biasanya cukup manjur. Waktu ada wabah, semua wanita
hamil perlu diberi vaksinasi. Walaupun kuman-kuman tifus abdominalis tidak di
keluarkan melalui air susu, namun sebaiknya penderita tidak menyusui bayinya
karena keadaan umum ibu biasanya tidak mengizinkan, dan karena kemungkinan
penuluaran oleh ibu melalui jalan lain tetap ada. Tifus abdominalis tidak
merupakan indikasi bagi abortus buatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar