Jumat, 21 Juni 2019
Senin, 13 Mei 2019
Kamis, 02 Mei 2019
Senin, 29 April 2019
SPERMATOGENESIS DAN STRUKTUR SPERMA
BAB 1
PENDAHULUAN
spermatozoa (berasal dari bahasa Yunani Kuno yang berarti benih dan makhluk hidup) adalah sel dari sistem reproduksi jantan. Sel sperma akan membentuk zigot. Zigot adalah sebuah sel dengan kromosom lengkap yang akan berkembang menjadi embrio. Peran aktif spermatozoon adalah sebagai gamet jantan sehingga penting pada keberhasilan munculnya individu baru. Oleh karena itu, di dalam reproduksi sering diperlukan adanya standar kualitas spermatozoa. Spermatogenesis adalah proses pembuatan sel sperma, atau perkembangan sel germinal imatur yang dikenal sebagai spermatogonium menjadi sel sperma matang yang disebut spermatozoa. Proses spermatogenesis sangat dipengaruhi oleh kerja berbagai hormon yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior, juga oleh hormon lain yang dihasilkan testes melalui mekanisme umpan balik negatif (Pujiyanto, 2008). Hormon tersebut antara lain FSH dan LH. Gangguan hormonal yang mempengaruhi proses spermatogenesis misalnya menurunnya produksi hormon Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) sehingga menimbulkan keadaan yang disebut hipogonadism. Oleh karena itu, pada kesempatan ini akan dibahas tentang spermatogenesis dan struktur sperma.
1.2 RUMUSAN MASALAH.
1. Apa pengertian Spermatogenesis?
2. Bagaimanakah proses Spermatogenesis?
3. Apa saja hormon-Hormon yang mempengaruhi spermatogenesis?
4. Bagaimanakah struktur sperma?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan umum
1. Menjelaskan pengertian spermatogenesis
2. Menjelaskan mengenai proses spermatogenesis
3. Menjelaskan hormon-Hormon yang mempengaruhi spermatogenesis
4. Menjelaskan struktur sperma
1.3.2 Tujuan khusus
1. Menjelaskan definisi spermatogenesis
2. Menjelaskan proses spermatogenesis
3. Menjelaskan kontrol hormon pada spermatogenesis
4. Menjelaskan struktur dan fungsi spermatozoa
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Dapat memberikan sumbangsih informasi tentang reproduksi pada manusia khususnya proses pembentukan sperma (spermatologi) pada laki-laki.
1.4.2 Manfaat aplikatif
Dari informasi yang disusun dan pada makalah ini dapat digunakan dalam mengembangkan ilmu dalam bidang reproduksi pada manusia khususnya proses spermatogenesis.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
SPERMATOGENESIS
Spermatogenesis atau proses pembentukan sperma,
terjadi di dalam testis, tepatnya terjadi di tubulus seminiferus.
Spermatogenesis terjadi setelah seorang laki-laki mengalami masa puber (dewasa
secara fisiologis). Spermatogenesis kemudian akan terjadi secara teratur dan
terus menerus seumur hidup laki-laki. .
Struktur Eksternal Alat Reproduksi
Pria
Sumber: http://elinow.wikispaces.com/
Tubulus seminiferus yang ada pada testes
pria, terdiri dari sel-sel diploid yang dinamakan spermatogonia yang akan
berkembang menjadi sperma yang matang. Proses yang terjadi yaitu adanya
peralihan proses pembelahan serta perubahan struktur yang fungsional melalui
proses pembelahan serta perubahan struktur secara berurutan. Secara umum tahap
perkembangan sel germa hingga menjadi spermatozoa meliputi:
1.
Spermatogonium, biasanya terletak di tepi tubulus
seminiferus.
2.
Spermatosit primer.
3.
Spermatosit sekunder.
4.
Spermatid, berukuran relatif kecil dan mempunyai bakal
tudung di bagian ujung inti.
5.
Spermatozoa, sudah memiliki bagian kepala serta ekor.
Sayatan Melintang Tubulus Seminiferus
2.2
PROSES SPERMATOGENESIS
Spermatogenesis
merupakan proses yang kompleks, dimana sel germinal yang relatif
belum berdiferensiasi berproliferasi dan diubah menjadi spermatozoa yang
terspesialisasi dan motil, masing-masingnya mengandung satu set 23 kromosom
yang haploid. Proses spermatogenesis
terjadi di dalam tubulus seminiferus, yang pada dindingnya mengandung banyak
sel-sel germinal dan sel-sel sertoli. Satu siklus spermatogenesis memerlukan
waktu enam puluh empat hari, dan terdiri dari tiga fase. Berikut fase pembentukan
spermatozoa , yaitu :
1. Tahapan
Spermatocytogenesis
Spermatocytogenesis merupakan spermatogonia yang
mengalami mitosis berkali-kali yang akan menjadi spermatosit primer.
Spermatogonia merupakan struktur primitif dan dapat melakukan reproduksi
(membelah) dengan cara mitosis. Spermatogonia ini mendapatkan nutrisi dari
sel-sel sertoli dan berkembang menjadi spermatosit primer. Spermatogonia
yang bersifat diploid (2n atau mengandung 23 kromosom berpasangan), berkumpul
di tepi membran epitel germinal yang disebut spermatogonia tipe A.
Spermatogonia tipe A membelah secara mitosis menjadi spermatogonia tipe B.
Kemudian, setelah beberapa kali membelah, sel-sel ini akhirnya menjadi
spermatosit primer yang masih bersifat diploid. Spermatosit primer mengandung
kromosom diploid (2n) pada inti selnya dan mengalami meiosis. Satu spermatosit
akan menghasilkan dua sel anak, yaitu spermatosit sekunder.
2. Tahapan
Meiosis
Spermatosit
primer menjauh dari lamina basalis, sitoplasma makin banyak dan segera
mengalami meiosis I menghasilkan spermatosit sekunder yang n kromosom
(haploid). Spermatosit sekunder kemudian membelah lagi secara meiosis II
membentuk empat buah spermatid yang haploid juga. Sitokenesis pada meiosis
I dan II ternyata tidak membagi sel benih yang lengkap terpisah, tapi masih
berhubungan lewat suatu jembatan (Interceluler bridge). Dibandingkan
dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti yang gelap.
3. Tahapan
Spermiogenesis
Merupakan
transformasi spermatid menjadi spermatozoa yang meliputi 4 fase yaitu
fase golgi, fase tutup (cap), fase akrosom, dan fase pematangan. Hasil
akhir berupa empat spermatozoa (sperma) masak. Ketika spermatid dibentuk
pertama kali, spermatid memiliki bentuk seperti sel-sel epitel. Namun, setelah
spermatid mulai memanjang menjadi sperma, akan terlihat bentuk yang terdiri
dari kepala dan ekor. Pembentukan spematid sebagai hasil dari bagian
pematangan (maturation) merupakan sel dengan organel-organel di
dalamnya. Dalam bentuk ini, sel tidak dapat berperan sebagai sel gamet. Banyak
perubahan yang ikut serta untuk merubah dari spermatid non-motil menjadi
spermatozoa motil. Tujuan utama adanya perubahan untuk menambah motilitas
sperma.

Gambar
Spermatogenesis
2.3
HORMON-HORMON YANG MEMPENGARUHI SPERMATOGENESIS
Proses
spermatogenesis sangat dipengaruhi oleh kerja berbagai hormon yang disekresi
oleh kelenjar hipofisis anterior, juga oleh hormon lain yang dihasilkan testes
melalui mekanisme umpan balik negatif (Pujiyanto, 2008). Mula-mula, hipotalamus
mengeluarkan faktor pelepas yang menstimulasi kelenjar hipofisis anterior untuk
menyekresi FSH dan hormon lutein. Selanjutnya FSH merangsang sel-sel Sertoli
pada testis untuk menghasilkan androgen binding protein (ABP).
Adapun LH merangsang sel-sel Leydig untuk menSekresi hormon testosteron.
Testosteron dan FSH secara bersama-sama mengendalikan pembentukan sperma
selanjutnya.
Regulasi
Hormon pada Pria
Untuk
penjelasan lebih jelas, hormon-hormon yang berpengaruh dalam proses pembentukan
spermatozoa adalah sebagai berikut:
1. Testosteron
Testosteron
adalah hormon yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan seks sekunder pria
seperti pertumbuhan rambut di wajah (kumis dan jenggot), pertambahan massa
otot, dan perubahan suara. Hormon ini diproduksi di testis, yaitu di sel
Leydig. Produksinya dipengaruhi oleh FSH (Follicle Stimulating Hormone),
yang dihasilkan oleh hipofisis. Hormon ini penting bagi tahap pembelahan
sel-sel germinal untuk membentuk sperma, terutama pembelahan meiosis untuk
membentuk spermatosit sekunder. Hormon ini berfungsi merangsang perkembangan
organ seks primer pada saat embrio, mempengaruhi perkembangan alat reproduksi
dan ciri kelamin sekunder serta mendorong spermatogenesis.
2. Follicle
Stimulating Hormone/FSH
Hormon ini
dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior. FSH berfungsi untuk merangsang sel
Sertoli menghasilkan ABP (Androgen Binding Protein) yang akan memacu
spermatogonium untuk memulai proses spermatogenesis. Proses pemasakan spermatosit
menjadi spermatozoa disebut spermiogenesis. Spermiogenesis terjadi
di dalam epididimis dan membutuhkan waktu selama 2 hari.
3. Luteinizing
Hormone/LH
Hormon ini
dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior. Fungsi LH adalah merangsang sel
Leydig untuk menghasilkan hormon testosteron. Pada masa pubertas,
androgen/testosteron memacu tumbuhnya sifat kelamin sekunder. Pada pria, awal
pubertas antara usia 13 sampai 15 tahun terjadi peningkatan tinggi dan berat
badan yang relatif cepat bersamaan dengan pertambahan lingkar bahu dan
pertambahan panjang penis dan testis
4. Estrogen
Estrogen
dibentuk oleh sel-sel Sertoli ketika distimulasi oleh FSH. Sel-sel Sertoli juga
mensekresi suatu protein pengikat androgen yang mengikat testoteron dan
estrogen serta membawa keduanya ke dalam cairan pada tubulus seminiferus. Kedua
hormon ini tersedia untuk pematangan sperma.
5. Hormon
Pertumbuhan
Hormon
pertumbuhan diperlukan untuk mengatur metabolisme testis. Hormon pertumbuhan
secara khusus meningkatkan pembelahan awal pada spermatogenesis.
6. Hormon
Gonadotropin
Hormon
gonadotropin dihasilkan oleh hipotalamus. Hormon ini berfungsi untuk merangsang
kelenjar hipofisa bagian depan (anterior) agar mengeluarkan hormon FSH dan LH.
2.4
STRUKTUR DAN FUNGSI SPERMATOZOA
Setelah terbentuk sempurna,
spermatozoa masuk ke dalam rongga tubulus seminiferus, kemudian akibat
kontraksi dinding tubulus spermatozoa terdorong ke arah epididimis. Suasana
keseimbangan asam-basa dan elektrolit yang sesuai di intratubulus dan
epididimis memberikan spermatozoa kemampuan untuk bergerak (motilitas sperma).
Sperma
diproduksi sebanyak 300 juta per hari. Rata-rata volume air mani untuk setiap
ejakulasi adalah 2,5 sampai 6 ml, dan rata-rata jumlah sperma yang
diejakulasikan adalah 40-100 juta per ml . Ukuran sperma dewasa yaitu 60 µm.
Struktur Spermatozoa yang telah matang :
1. Kepala (head, caput), terdiri
dari sel berinti tebal dengan hanya sedikit sitoplasma, mengandung inti
(nukleus) dengan kromosom dan bahan genetiknya. Pada bagian membran permukaan
di ujung kepala sperma terdapat selubung tebal yang disebut akrosom. Akrosom
mengandung enzim hialuronidase dan proteinase yang berfungsi untuk
menembus lapisan pelindung ovum. Ukuran kepala sperma sendiri yaitu panjang 5µm
dan lebar 3µm. bagian posterior membran inti membentuk basal plate.
Struktur
Kepala Sperma
2. Leher (neck, cervix), menghubungkan
kepala dengan badan. Terdiri dari sembilan segmen kolom materi berserat,
berlanjut sebagai serat padat terluar ekor.
3. Badan (middle
piece, corpus), panjangnya 5 µm, banyak mengandung
mitokondria yang berfungsi sebagai penghasil energi untuk pergerakan sperma.
4. Ekor (tail, caudal), panjangnya
45µm, berfungsi untuk mendorong spermatozoa masak ke dalam vas deferen dan
ductus ejakulotoris.
Struktur
Sperma Manusia dengan Mikroskop Elektron
Gambar
Struktur Sperma Manusia
Sumber: http://elinow.wikispaces.com/
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Spermatogenesis adalah Proses pembentukan dan pemasakan
spermatozoa. Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus. Spermatogenesis adalah suatu proses
kompleks dimana sel germinal yang relatif belum berdeferensiasi berproliferasi
dan diubah menjadi spermatozoa yang terspesialisasi dan motil, yang
masing-masing mengandung satu set 23 kromosom yang haploid.
Proses permatogenesis terjadi didalam tubulus seminiferus, yang pada dindingnya
mengandung banyak sel-sel germinal dan sel-sel sertoli. Satu siklus
spermatogenesus terdiri atas tiga fase, yaitu: spermatositigenesis,
spermatidogenesis, dan spermiogenesis. Setiap proses spermatogenesis memerlukan
waktu + 64 hari. Proses spermatogenesis
dipengaruhi oleh hormon FSH dan LH
yang diproduksi oleh hipofisis anterior akibat rangsangan Gonadotropin Hormon
(GnRH). Adapun LH merangsang sel-sel Leydig untuk mensekresi hormon testosteron. Testosteron
dan FSH secara bersama-sama mengendalikan pembentukan sperma selanjutnya. Estrogen dibentuk oleh sel-sel Sertoli ketika
distimulasi oleh FSH.Sel-sel Sertoli juga mensekresi suatu protein pengikat
androgen yang mengikat testoteron dan estrogen serta membawa keduanya ke dalam
cairan pada tubulus seminiferus. Kedua hormon ini tersedia untuk pematangan
sperma. Sperma yang telah matang sempurna terdiri dari kepala, leher, bagian
tengah dan ekor.
DAFTAR PUSTAKA
”Benson, P & Pernoll 2009, “Buku saku Obsetry Gynecology William”, Jakarta, EGC.
Cunningham,
F. G 2006, “Obsetry
:Gynecology William”, Jakarta, EGC.
Fried, H. George dkk.(2005). Schaum’s Outlines BIOLOGI edisi
kedua. Jakarta: ERLANGGA
Tolihere., (1993). Inseminasi Buatan Pada Ternak Bandung:
Angkasa
Campbell, dkk.(2004). Biologi Edisi ke 5 Jilid III.
Jakarta : Erlangga
Pratiwi, D.A. (1996). Biologi 2. Jakarta. Erlangga
Speroff,
L et al 2011, “Clinical
Gynecologic Endocrinology and Infertility, 6th Edition,Williamsand
Wilkens”, Baltimore, MD
Syahrum, H. M. (1994). Reproduksi
dan Embriologi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jumat, 26 April 2019
Senin, 02 April 2018
Manajemen Nyeri
MANAJEMEN
NYERI
Pengertian
Nyeri adalah pengalaman
sensori dan emosional yang dirasakan kurang nyaman yang ditimbulkan dari
kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial (American Medical Association, 2013). Nyeri dapat berupa perasaan
yang tidak menyenangkan dan bersifat subjektif sehingga tingkat dan skala nyeri
yang dirasakan setiap orang akan berbeda-beda, hanya orang yang mengalaminya
yang dapat mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Tetty, 2015)
Klasifikasi nyeri
1.
Berdasarkan
Durasi
a.
Nyeri
akut
Nyeri
yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki
proses yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan
berlangsun untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013)
Nyeri
akut akan menghilang tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali
(Prasetyo, 2010)
b.
Nyeri
kronik
Nyeri
yang konstan yang intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu, nyeri
ini berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung
lebih dari 6 bulan ( McCaffery, 1986 dalam Potter dan Perry, 2007)
2.
Nyeri
berdasarkan asal
a.
Nyeri
Nosiseptif
Merupakan
nyeri yang diakibatkan oleh sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan
reseptor khusus yang mengantarkan stimulus naxious. Nyeri nosiseptor terjadi
karena stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan
lain-lain (Andarmoyo, 2013).
b.
Nyeri
neuropatik
Nyeri
neuropatik adalah hasil suatu cedera yang di dapat pada struktur saraf perifer
maupun sentral, nyeri ini lebih sulit dilakukan pengobatan.
3.
Berdasarkan
Lokasi
a.
Supervicial
atau kutaneus
Nyeri
yang disebabkan stimulus kulit, karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar
dan berlokalisasi dan terasa sebagai sensasi tajam (Sulistyo, 2013)
b.
Viseral
Dalam
Nyeri
yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal.nyeri ini bersifat difusi
dan menyebar ke beberapa arah. Misalkan pada ulkus lambung (sensasi terbakar).
c.
Nyeri
alih
Nyeri
alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena banyak organ tidak
memiliki reseptor nyeri. Karakteristik
nyeri dapat terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat
terasa dengan berbagai karakteristik. Misalkan nyeri yang terjadi pada infark
miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang
mengalihkan nyeri ke selangkangan.
d.
Radiasi
nyeri
Merupakan
sensasi nyeri yang meluas dari tempat asal cedera ke bagian tubuh yang lain
(Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo,2013). Misal nyeri pada punggung bagian
bawah akibat diskusi interaverrtebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi
sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.
4.
Pengukuran
itensitas nyeri
Gambaran
seberapa parah nyeri dirasakan oleh seseorang sangat bersifat subjektif karena
akan sangat berbeda-beda ( Andarmono, 2013). Skala intensitas nyeri deskriptif
sederhana dapat dinilai dengan VDS ( Verbal Descriptor Scale). Penilaian yang
diranking dari “ tidak nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”
(Andarmoyo,2013)

Gambar 1. Skala Intensitas Nyeri
Sederhana
Penilaian
skala nyeri juga dapat dinilai secara numerik

Gambar 2 Skala intensitas nyeri
numerik
Penilaian
skala nyeri melalui FRS (Face Ratting Scale)

Gambar 3. Skala nyeri Face Ratting
Scale
Skala
pengukur nyeri Wong Baker Face Scale banyak digunakan oleh tenaga kesehatan untuk mengukur nyeri
pada pasien anak. Sesuai dengan rasa nyeri yang dirasakan, interprestasinya
adalah 0 tidak ada nyeri, 2 sedikit nyeri, 4 sedikit lebih nyeri, 6 semakin
lebih nyeri, 8 nyerisekali, dan 10 sangat nyeri (National Precribing Service
Limited, 2007)
Mekanisme Nyeri
Mekanisme nyeri secara
sederhana dimulai dari transduksi stimuli akibat kerusakan jaringan dalam saraf
sensorik menjadi aktivitas listrik kemudian ditransmisikan melalui serabut
saraf bermielin A delta dan saraf tidak bermielin C ke kornu dorsalis medula spinalis,
talamus, dan korteks serebri. Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan
didiskriminasikan sebagai kualitas dan kuantitas nyeri setelah mengalami
modulasi sepanjang saraf perifer dan disusun saraf pusat. Rangsangan yang dapat
membangkitkan nyeri dapat berupa rangsangan mekanik, suhu (panas atau dingin)
dan agen kimiawi yang dilepaskan karena trauma/inflamasi.
Fisiologi
Nyeri
Banyak teori berusaha untuk menjelaskan
dasar neurologis dari nyeri, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan
secara sempurna bagaimana nyeri ditransmisikan atau diserap.
Untuk memudahkan memahami fisiologi
nyeri, maka perlu mempelajari 3 (tiga) komponen fisiologis berikut ini:
1. Resepsi : proses perjalanan
nyeri
2. Persepsi : kesadaran seseorang
terhadap nyeri
3. Reaksi : respon fisiologis &
perilaku setelah mempersepsikan nyeri
1. RESEPSI
Adanya stimulus yang mengenai tubuh
(mekanik, termal, kimia) akan menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti
histamin, bradikinin, kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor
bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls
syaraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut syaraf perifer yang
akan membawa impuls syaraf ada dua jenis, yaitu serabut A-delta dan serabut C.
impuls syaraf akan di bawa sepanjang serabut syaraf sampai ke kornu dorsalis
medulla spinalis. Impuls syaraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis
melepaskan neurotrasmiter (substansi P). Substansi P ini menyebabkan transmisi
sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan
impuls syaraf ditransmisikan lebih jauh ke dalam system saraf pusat.
Setelah impuls syaraf sampai di otak,
otak mengolah impuls syaraf kemudian akan timbul respon reflek protekti.
Contoh: Apabila tangan terkena setrika,
maka akan merasakan sensasi terbakar, tangan juga melakukan reflek dengan
menarik tangan dari permukaan setrika. Proses ini akan berjalan jika system
saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau berfungsi normal.
2. PERSEPSI
Fase ini merupakan titik kesadaran
seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka
akan terjadi reaksi yang komplek. Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan
nyeri itu sehingga kemudian individudapat bereaksi
Proses persepsi secara ringkas adalah
sebagai berikut:
Stimulus Nyeri Medula Spinalis Talamus
Otak (area limbik) Reaksi emosi Pusat otak, Persepsi Stimulus nyeri
ditransmisikan ke medula spinalis, naik ke talamus, selanjutnya serabut
mentrasmisikan nyeri ke seluruh bagian otak, termasuk area limbik. Area ini
mengandung sel-sel yang yang bisa mengontrol emosi (khususnya ansietas). Area
limbik yang akan berperan dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah
transmisi syaraf berakhir di pusat otak, maka individu akan mempersepsikan
nyeri.
3. REAKSI
Reaksi terhadap nyeri merupakan respon
fisioligis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Nyeri dengan
intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi
”flight atau fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada
cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan respon fisiologis, apabilanyeri
berlangsung terus menerus, maka sistem parasimpatis akan bereaksi. Secara
ringkas proses reaksi adalah sebagai berikut:
Impuls nyeri medula spinalis batang otak
& talamus Sistem syaraf otonom Respon fisiologis & perilaku Impuls
nyeri ditransmisikan ke medula spinalis menutju ke batang otak dan talamus.
Sistem saraf otonom menjadi terstimulasi, saraf simpatis dan parasimpatis
bereaksi, maka akan timbul respon fisiologis dan akan muncul perilaku.
Metode
yang di gunakan untuk menghilangkan nyeri
A. Distraksi
Distraksi adalah metode pengalihan
perhatian dari "persepsi" rasa nyeri. Dengan mengalihkan perhatian,
kita bisa mengurangi fokus terhadap respon nyeri. Distraksi bisa diterapkan
untuk rasa nyeri ringan dan sedang, untuk rasa nyeri berat obat masih menjadi
pilihan paling tepat. Contoh dari metode distraksi dalam mengurangi rasa nyeri
adalah melakukan kegiatan ringan untuk mengalihkan "persepsi" rasa
nyeri, bisa dengan mengobrol, menonton tv, atau dengan menikmati pemandangan
alam.
Dengan menerapkan metode distraksi untuk
mengurangi rasa nyeri akan menghindari dampak negatif dari obat kimia, seperti
yang dijelaskan di atas, distraksi bisa diterapkan pada nyeri ringan dan
sedang, untuk itu pada kasus rasa nyeri berat harus ditangani dengan
obat/tindakan medis.
B. Relaksasi
Teknik relaksasi dapat mengurangi ketegangan otot dan mengurangi kecemasan. Membantu klien dengan teknik relaksasi, perawat dapat mengenal nyeri klien dan ekspresi kebutuhan dibantu dari klien untuk mengurangi distress
yang disebabkan oleh nyerinya.Teknik relaksasi lebih efektif untuk klien dengan nyeri kronik.
Relaksasi memberikan efek positif untuk klien yang
mengalami nyeri, yaitu:
a. Memperbaiki kualitas tidur
b. Memperbaiki kemampuan memecahkan masalah
c. Mengurangi keletihan/ fatigue
d. Meningkatkan kepercayaan dan perasaan dapat mengontrol diri dalam mengatasi nyeri
e. Mengurangi efek kerusakan fisiologi dari
stress yang berlanjut atau berulang karena nyeri
f. Pengalihan rasa nyeri/ distraksi
g. Meningkatkan keefektifan teknik-teknik pengurangan nyeri
yang lain
h. Memperbaiki kemampuan mentoleransi nyeri
i. Menurunkan distress atau ketakutan selama antisi pasi terhadap nyeri
Secara umum untuk melakukan teknik relaksasi membutuhkan
4 hal, yaitu:
a. Berikanposisi yang nyaman
b. Dilakukan dalam lingkungan yang tenang
c. Mengulang kata-kata, suara, phrase, doa-doa tertentu
d. Melakukan sikap yang pasif saat mendistraksiklien.
Metode yang
lain untuk meningkatkan relaksasi dapat berupa mendengarkan music atau suara alam sambil santai,
memikirkan sesuatu yang merilekskan, atau dengan teknik meditasi seperti
yoga, dan lain-lain.
C. Imagery
Klien dapat menggunakan imagery/ membayangkan untuk menurunkan nyeri. Imagery sesuatu yang menyenangkan. Imagery dapat digunakan lebih efektif pada klien dengan nyeri kronik daripada nyeri akut,atau nyeri berat. Perawat dapat mengajarkan klien untuk menggunakan teknik
imagery dengan melakukan guided
imagery.
D. Stimulasi Kutan
Teknik dengan menstimulasi permukaan kulit untuk mengurangi nyeri. Meintz (1995) menyatakan bahwa massage,
salah satu bentuk stimulasi kutan,
dapat mengurangi kecemasan dan persepsi nyeri pada klien dengan kanker.
Stimulasikutan, meliputi :
a. Massage
b. Kompres hangat ataudingin, atau keduanya bergantian
c. Accupressure
d. Stimulasi kontralateral
E. Anestesi
Anestesi secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel
Holmes Sr pada tahun 1846.
Sumber
Andarmoyo,
Sulistyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri, Ar- Ruzz, Yogyakarta
Anonim.
2007. Acute postoperative Pain Management. Australia : National Prescribing
Services Limited. http://bit.ly/2qcWwf8 diakses pada tanggal 25 April 2017
American
Medical Association, 2013. American Medical Association Complete Guide to
Prevention and Wellness. United State of America. Wiley.
Prasetyo,
2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri, Yogyakarta. Graha Ilmu
Tetty,
S. 2015. Konsep Dan Aplikasi Relaksasi Dalam Keperawatan Maternitas. Bandung. PT
Refika Adiwijaya.
Langganan:
Postingan (Atom)